Minggu, 19 Mei 2013

bab 2 (malaikat kebanggaan ibu)


Keesokan harinya Aku merayakan bersama Abang dan tentu saja teman kantornya juga ikut. Miss Menyebalkan itu ikut merayakan kelulusanku. Siapa dia? Cuma ‘teman’, kenapa harus ikut? Mengganggu saja. Aku kan sedang ingin bahagia bersama Abang.
Soal tempat Abang memilih warung tenda yang bisa ditemui disepanjang jalan saat malam menyapa. Bukannya Abang tak sanggup membayar makanan Fast Food yang ada di Resto-resto yang mewah melainkan Abang lebih suka sesuatu yang sederhana. Seperti warung tenda yang sekarang kami kunjungi untuk merayakan kelulusanku.
Aku merajuk sepanjang jalan. Benar-benar perayaan yang amat menyebalkan. Lihat saja Kak Icha keterlaluan, genit. Tolong, jangan dekat-dekat sama Abangku. Harusnya Kak Icha kan tidak usah ikut, perusak suasana saja. Perempuan pengganggu!
“Dhe, Abang tidak menyangka kalau adhe bakal sehebat ini. Abang bangga sama Adhe. Adhe mau melanjutkan sekolah dimana?” Tanya Abang mencairkan situasi menyebalkan ini
Aku hanya menjawab pelan, Kak Icha yang menguasai percakapan ini. Dia menyarankan ini dan itu untukku pada Abang. Ah, itu Cuma akal-akalannya Kak Icha saja agar Abang simpati padanya. Dasar perempuan pembual.
Lihat saja dari cara pandang Kak Icha padaku. Dia sepertinya teramat membenciku. Jangan-jangan dalam benak Kak Icha, aku hanya sebagai pengganggu kelangsungan pendekatannnya pada Abangku. Aku tidak akan sudi punya ‘kakak’ seperti dia. Lihat!! Pandangannya seperti jijik melihatku, apa Abang tak menyadarinya?
Aku tetap merajuk sampai rumah. Tadi Abang juga mengantarkan Kak Icha pulang. Menyebalkan! Aku tak suka Abang dekat dengan Kak Icha. Abang tau akan hal ini, bahwa aku ngambek karena Abang lagi-lagi mengajak Kak Icha dalam acara kami.
“Dhe, maafin Abang ya” kata Abang padaku saat kami sedang duduk menonton Doraemon kesukaanku
“Maaf buat apa, bang?” tanyaku sewot pura-pura tidak tahu.
“Kok, Adhe jawabnya kayak gitu?”
Aku hanya diam. Abang tidak sensitive. Harusnya kan Abang peka sama hal yang beginian. Apa perlu Aku menjelaskan pada Abang kalau Aku sebal sama Kak Icha? Tidak bukan? Abang pasti tau semuanya, Abang kan selalu tahu.
“Besok kita rayakan lagi ya Dhe, hanya kita berdua. Abang sama Adhe saja tidak ada pihak ketiga atau pihak-pihak lainnya yang ikut bergabung”
“Adhe besok ada acara?”
“Sejak kapan Adhe punya acara, hanya sebentar saja Dhe. Makan ice cream ditempat favorit kita berdua Dhe”
Aku menjawab iya dengan malas
“Dhe..” panggil Abang mengganggu acara nonton Manga kesukaanku. Aku menoleh meminta pertanyaan
“Abang boleh bertanya sesuatu sama, Adhe?”
“Soal apa, Bang..”
“Tapi, Adhe janji dulu sama Abang, Adhe gak akan marah sama Abang”
“Tergantung, Bang”
Abang tersenyum, dan menarik nafas merangkai kata-kata yang membuatku akhirnya tambah menjadi sebal. Benar-benar pertanyaan yang tidak tepat pada waktunya.
“Dhe.. kenapa setiap Abang lihat Adhe natap Kak Icha tatapan Adhe gak enak banget. Kaya sebel, sebenarnya ada apa sih? Pasti ada sesuatu” Tanya Abang serius
Kenapa harus bertanya soal Kak Icha sih? Apa tidak ada pertanyaan lain misalnya bertanya kapan Doraemon membuat alat untuk mengukur rasa sayangku pada Abang. Pertanyaan itu kan akan jauh membuatku  tertawa bukan pertanyaan menyebalkan seperti ini.
“Tidak, Bang. Biasa saja” jawabku pendek
“Gak Dhe, Abang lihatnya tidak Cuma sekali. Memangnya ada apa sih? Abang gak mau ada masalah yang lebih besar anatara Adhe dan Icha”
Aku hanya mendengus sebal. Bukankah Kak Icha yang sebal kalau sedang menatapku. Kenapa malah Abang bertanya sesuatu yang bertentangan dengan kenyataan. Kak Icha, Bang yang menatapku dengan tatapan jijik melihatku. Tidak seperti Abang, tatapan Abang selalu terlihat mendamaikan walaupun amat tegas.
“Kenapa sih, Abang menyangka, Adhe sebel sama Kak Icha?”
“Abang gak nyangka Dhe, Abang menyimpulkan sendiri ya dari tatapannya Adhe ituke Icha.” Suara Abang mulai meninggi
Percuma kan Aku menjelaskan sama Abang. Toh abang lebih membela teman Abang itu dibandingkan aku Adhenya sendiri. Aku kan bukan siapa-siapa dibandingkan Kak Icha, aku hanya seorang Adhe. Tidak akan menjadi special seperti Kak Icha.
Aku mematikan televisi beranjak menuju kamar, Aku menangis. Dimata Abang aku pasti salah. Dan aku salah, selalu salah dimata Abang dibandingkan Kak Icha, siapa aku hingga Abang lebih memebelaku. Mungkin Abang lebih dulu dekat dengan Kak Icha dibandingkan saat menemukanku. Aku hanya seorang ‘Adhe’ yang pencemburu dan banyak maunya.
***
Embun masih bergeliat manja didedaunan, menanti matahari mengusirnya dari pagi. Hari ini hari pertamaku masuk sekolah. Sekarang umurku Lima Belas tahun, Abang Dua Puluh Dua tahun. Abang semakin terlihat berwibawa dengan senyum menyenangkannya yang entah kenapa tatapannya selalu bisa membuatku merasa damai.
Sekarang, Abang tak perlu mengantarkanku kesekolah seperti hari-hari sebelumnya. Ada Fandi yang setiap hari rela mengantar dan menjemputku kesekolah. Seperti sopir pribadi saja, dia mau kok melalukan pekerjaan menghinakan itu. Jadi sopir dan tukang ojek yang harus ada saat aku sms-padanya.
Ya, sejak masuk sekolah menengah atas. Aku sama seperti gadis-gadis lainnya, merasakan yang namanya apa itu ‘cinta monyet’. Fandi itu tergolong orang yang romantis, dia sering menulis bebrapa bait puisi rutin setiap minggu untukku di madding sekolah. Kata teman-temanku itu romantis. Ah, sepertinya biasa-biasa saja. Semua orang bisa menjadi pujangga ketika sedang dimabuk asmara seperti yang Fandi lakukan padaku sekarang. ‘Semua’ orang bisa melakukannya.
***
Dihari ulangtahunku yang jatuh diakhir bulan, aku mendapat kejutan yang kata teman-temanku sedikit ewoow. Padahal menurutku lebay dan berlebihan. Walaupun menurut kebanyakan orang itu so sweet. Aku hanya tertawa mendengarnya, semua orang bisa melakukannya. Itu hal yang mudah bukan?
“Hanya” menulis sebuah buku dan bukunya khusus dipersembahkan buatku. Ah, itu berlebihan. Semua orang bisa melakukannya. Apa harus sebegitunya dia mengungkapakan rasa so(k) sweet-nya padaku? Aku hanya menggigit bibir, sedikit terharu karena ada seorang pria yang sampai sebegitunya menyayangiku. ‘Berlebihan’, sekali lagi berlebihan bukan?
Dan yang amat mengejutkan bagiku, Abang memberikan sebuah hadiah kecil yang menurutku amat teramat sederhana tapi mampu menerbangkanku hingga langit ketujuh, mungkin Aku saja yang terlalu berlebihan menafsirkan pemberiannya. Aku tak ingin mengatakan apa itu, tepatnya biar kusimpan sendiri sesuatu tentangnya.
Aku berjalan-jalan ke pasar malam, tempat kesukaaan Abang setelah gedung berlantai dua. Sebenarnya Aku tak begitu suka, terlalu ramai. Karena Abang menyukainya Aku juga akan belajar ikut menyukai jalan-jalan ke pasar malam, tidak berlalu buruk.
Aku membeli Arumanis, Abang menertawakanku seperti anak kecil. Apa anak kelas dua SMA tidak boleh membeli Arumanis? Aku suka, enak. Apanya yang lucu? Abang menyebalkan menertawakanku sebegitunya banget. Aku ngambek, Aku kan selalu ngambek. Itu jurus terbaik yanga Aku punya. Aku tak punya saringan seperti keluarga Uchiha ataupun mata tajam mendamaikan seperti milik Abang.
“Bang, ayo naik Komidi Putar!” ajakku tak sabar
Abang diam mematung, sepertinya dia belum terbiasa dengan gaya kekanak-kanakkanku. Memangnya anak kecil saja yang boleh naik Komidi Putar? Benar-benar pemikiran yang picik jika benar seperti itu. Tapi akhirnya Abang menurutiku yang banyak maunya. Biarkanlah, yang penting Aku bahagia malam ini. Dihari ulang tahunku.
Setidaknya Abang tidak mengajak Kak Icha yang kata Abang hanya teman kantornya saja. Aku tidak mau membahasnya, dia tidak penting. Aku sebal saja kenapa dia selalu menatapku dengan tatapan yang jijik. Memangnya aku ini apa? Harusnya kalau dia memang ‘suka’ dengan Abangku dia juga harus merebut perhatianku juga kan agar aku memberi lampu hijau pada Miss Menyebalkan itu. Tapi Aku tak akan pernah sudi.
Aku pulang sambil menghitung bintang-bintang yang menyebar diatas sana berebut tempat agar terlihat oleh jutaan makhluk di bumi, seperti keberadaan bintang-bintang itu. Berjuta-juta, atau bahkan lebih. Aku tak pernah menghitungnya samapai sebanyak itu.
“Dhe..”
“Kenapa Bang?”
“Tahu tidak? Kata orang, jika kita menghitung bintang samapai seratus dan pada hitungan keseratus kita berharap memanjatkan do’a. do’a kita akan cepat dikabulkan” kata Abang teramat serius, lihat saja mukanya. Amat serius, berwibawa.
Aku bengong? Aku tak menyangka Abang bisa menghayal cerita seperti itu dengan amat serius.
“Coba aja Dhe, kalau tidak percaya sama Abang” perintah Abang sedikit melotot kemudian tertawa kecil
Bagaimana mungkin Aku tidak percaya. Aku selalu mempercayai Abangku. Walaupun Abang berbohong padaku sekalipun, Aku akan tetap percaya padanya. Aku sudah berjanji untuk selalu menurut padanya. Apapun! Dia Abangku, Malaikat yang selalu dibanggakan Ibu.
Aku sibuk menghitung bintang-bintang di angkasa. Aku selalu percaya perkataan Abangku. Tanpa perlawanan, tanpa protes. Setelah hitungan keseratus Aku khusuk memohon, berdo’a dengan khidmat. Hanya Aku dan yang ada diatas sana yang tahu. Aku tersenyum dan menoleh Abangku, lebih tepatnya memandangnya.
Aku tak perlu memberitahu seperti apa do’aku bukan? Semuanya sudah jelas, sejelas bintang-bintang yang Aku hitung. Semua orang pasti tahu bagaimana isi do’aku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar