Sabtu, 14 Juni 2014

Aku hamil, mas..



“Aku hamil mas?”
“Benarkah Dhe? Kamu lagi tidak bercanda kan?” kata Damas kaget, tidak percaya dengan apa yang diucapkan Dhea barusan
“....” Dhea menggelengkan kepala sambil senyum-senyum tanda bahagia.
Damas memeluk istrinya, bahagia. Setelah Tujuh tahun pernikahan, akhirnya Tuhan mempercayakan mereka berdua untuk sebuah momongan. Damas memeluk istrinya dan menciuminya dengan mesra.
“Sekarang apa Dhe? Mama sama bapak harus tahu. Mereka pasti senang akan punya cucu”
“...” Dhea menggangguk mengiyakan, akhirnya dia menjadi wanita sempurna.
“Dhe, makasi banget ya”
“Nenek juga harus tahu, dia pasti akan sangat senang. Waktu itu kan nenek sakit karena kepengin cicit dari kamu Mas”
“Lakuin Dhe, makasih” Damas mengusap rambut Dhea dan mencium keningnya
“Aku seneng kok Mas bisa mengandung anak kamu, nglahirin anak kamu, ngrawat anak kamu, aku senang menanti itu semua terjadi. Makasi ya Mas udah sabar menunggu selama ini”
Kebahagiaan mereka begitu nyata. Masih teringat jelas ketika waktu itu Damas disuruh menceraikan Dhea karena Dhea tidak bisa memberikan keturunan untuk Damas. Tapi alasan Damas menikahi Dhea bukan karena itu, tapi karena Tuhan yang memilih Dhea untuk Damas. Dhealah perempuan terbaik untuk Damas, dan Tuhan menunjukan itu semua. Meski terlambat, tapi Tuhan memberi disaat yang tepat. Lebih baik terlambat daripada telat, bukankah seperti itu.
Tuhan mendengar do’a mereka selama ini, hanya dibutuhkan kesabaran untuk menunggu semua itu terkabul. Karena mereka sudah sabar menunggu, tuhan menjawab semua do’a mereka sekarang.
“Makasi Mas untuk semua cinta yang sudah diberikan selama ini. Untuk kasih sayang yang sederhana yang Aku terima.”
“Iya Dhe, Aku minta maaf karena selalu bikin kamu sebel Dhe, bikin Kamu cemburu sama temen-temen kantor Aku yang kecentilan. Makasi untuk tidak marah ketika Aku marah Dhe. Makasi udah mau ngertiin Aku melebihi Aku. Makasi untuk semuanya Dhe”
“Aku tau mas, meskipun Kamu tidak pernah secerewet Aku. Yang selalu blak-blakan ngomongin sesuatu. Meskipun Kamu selalu memendam semuanya sendiri Mas. Aku tahu, Kamu selalu menyayangiku Mas. Kamu hanya lupa mengatakan itu padaku. Kalau Kamu menyayangiku lebih dari Aku”
“Sebenarnya Aku kadang yang terlalu genit, tebar pesona kecewe lain padahal Aku sudah punya Kamu Dhe. Maaf ya untuk itu”
“Aku nggak apa-apa meskipun Kamu begitu Mas”
“Aku jadi takut Dhe”
“Takut kenapa Mas?” Dhea sedikit khawatir, ketakutan suaminya menjadi ketakutannya juga
“Aku takut kenyataan ini terlalu nyata. Mulai hari ini Aku akan berubah”
“Mas, kamu nggak perlu berubah. Aku mencintai Kamu apa adanya. Kamu selalu menjadi suami Aku itu sudah lebih dari cukup Mas”
“Selama ini Aku udah ngecewain Kamu Dhe, udah nyakitin Kamu. Maaf juga soal Mamah. Soal Ade tersayangku”
“Aku nggak apa-apa kok dengan mereka. Aku bisa menahannya. Aku harusnya berterimakasih sama mereka karena mereka sudah mau menyayangimu Mas, udah perhatian ke Kamu Mas, udah bikin Kamu bahagia. Selama ini kan Aku belum bisa bikin Kamu bahagia”
“Aku bahagia kok Dhe. Ketika Aku diam bukan berarti Aku bahagia kan Dhe?”
Dhea memetik buah kesabarannya sekarang. Sekarang dia punya pundak suaminya untuk bersandar. Meskipun selama ini dia hanya punya sajadah untuk bersujud, Tuhan berbaik hati memberinya sebuah pundak seseorang yang begitu disayanginya. Dalam hidup Dhea tidak penting lagi siapa orang-orang yang akan menyayanginya, tidak peduli lagi apakah dalam hidupnya hanya satu orang yang akan menyayanginya. Dan sekarang dia tahu, yang terpenting dalam hidupnya dia hanya mencintai satu orang. Suaminya, Damas.
“Maaf dhe, sejak kejadian itu. Aku berniat meninggalkanmu. Aku minta maaf, Aku selalu membuat hatimu sakit. Aku bingung, Aku mengacuhkanmu dan pura-pura menganggap Kamu sudah tidak penting lagi Dhe ada didalam hidupku. Kamu pasti sakit akan hal itu Dhe”
“Aku tahu Mas, Aku mengerti. Aku pasti sakit banget. Sejak hari itu, Aku juga sudah memasrahkan semuanya. Mungkin itu sudah menjadi takdirku, jalan hidupku harus seperti ini. Aku berusaha mengikhlaskan semuanya.”
“Maaf ya Dhe, Aku selalu jahat kepadamu selama ini”
“Meskipun Kamu begitu, Aku tidak apa-apa mas. Aku ikhlas dengan semua ini. Jangan pergi lagi dariku Mas, demi anak yang ada dikandunganku sekarang”
“Apapun yang terjadi, aku tidak akan meninggalkanmu lagi. Aku tidak akan pernah menemukan perempuan sepertimu lagi jika aku meninggalkanmu.”
Dhea memeluk erat Damas. Ia menangis dipundak Damas mengeluarkan semua air mata yang ditahannya selama ini. Air mata yang ia simpan sendiri ketika ia merasa tak sanggup lagi dengan sikap suaminya, Damas. Dhea hanya tidak tahu bagaimana caranya mencintai pria lain selain Damas. Hanya damas yang bisa membuatnya menjadi seorang wanita yang penurut, siap mengalah kapanpun untuk orang yang disayanginya. Dhea menyayangi Damas, hanya itu yang dhea punya untuk damas. Tidak lebih.
Damas sebenarnay pria yang baik, hanya saja hidupnya selalu ditekan oleh orang-orang disekitarnya. Ayahnya yang terlalu menuntut dia untuk ini dan itu. Dia hanya mencari pelampiasan untuk hal-hal yang sekiranya bisa membuatnya bahagia. Meskipun dengan cara yang salah.
Damas menikah sejak Tujuh tahun yang lalu dengan seorang gadis bernama Dhea. Teman masa kecilnya. Ada banyak cara Tuhan mempertemukan sebuah cinta, Tuhan memilih Dhea untuk Damas. Dhea gadis periang, cerewet, apa-apa selalu diungkapkan dengan ekspresif, sedikit tomboy. Tapi, dibalik itu semua Dhea gadis yang sabar, mau mengalah dan berkorban untuk orang yang disayanginya, begitu perhatian, penyayang, melindungi.
Sejak Tujuh tahun menikah, Damas tidak menyadari betapa beruntungnya dia menemukan Dhea. Dhea selalu saja punya cara untuk menyikapi kelakuan Damas. Entah teman-teman perempuannya yang terlalu gampangan entah Damas yang terlalu tebar pesona kemereka semua. Meskipun Damas begitu, Dhea tidak apa-apa. Tidak pernah marah dan cemburu yang berlebihan. Cemburu itu merusak segalanya, bukankah seperti itu. Bukan karena Dhea tidak menyayangi Damas, membiarkan suaminya dekat dengan perempuan lain. Dhea tidak melarang-larang lagi akan hal itu, meskipun ia sempat bilang cemburu cemburu jika ada wanita yang dekat dengannya. Hey, bukankah Dhea istri sah Damas. Dhea berhak untuk hal itu bukan? Dhea hanya ingin melihat damas bahagia. Jika dengan cara seperti itu Damas bahagia, Dhea tidak apa-apa. Mungkin Tuhan belum membukakan pintu untuk Damas. Dhea tetap sabar hidup dengan cara seperti itu. Dimana lagi akan Damas temui perempuan seperti itu.
Damas pria yang egois, suka menang sendiri, tidak mempedulikan orang lain yang dia tahu yang penting hidupnya bahagia tidak peduli meskipun akan ada banyak hati yang dia sakiti. Damas gampang sekali marah, orangnya sensitif. Dhea harus selalu memesan kesabaran yang ekstra kepada Tuhannya. Oh tuhan, dimana lagi akan Damas temui perempuan sesabar Dhea.
Tapi semua itu telah berlalu. Di tahun ketujuh mereka menikah, Tuhan menjawab semuanya. Dhea hamil, sesuatu yang sangat Damas nanti-nantikan selama ini. Tuhan mendengar jeritan hati Dhea setiap sepertiga malam. Bukankah Tuhan begitu adil kepada hambanya yang tak tak pernah bosan meminta. Bukankah Tuhan maha pemberi segala sesuatu. Itu yang Dhea punya untuk damas, selalu berdo’a.

Sekarang Damas mengerti, kebahagiaan Dhea itu terletak pada kebahagiaannya. Bagaimana ada perempuan yang rela hidup seperti itu. Mementingkan kebahagiaan orang lain diatas kebahagiaannya sendiri, bagaimana mungkin Dhea bisa melakukan itu semua dengan gembira. Dia berkorban apapun demi orang yang disayanginya. Bahkan mungkin, jika Dhea harus mengorbankan hidupnya untuk Damas, dia nggak apa-apa. Dia pasti mau dan senang melakukan apapun untuk kebahagiaan Damas. Damas beruntung mendapatkan istri seperti itu, seorang Bidadari yang mau memberikan segala-galanya untuk Damas.
bersambung..