Keesokan
harinya Aku merayakan bersama Abang dan tentu saja teman kantornya juga ikut. Miss Menyebalkan itu ikut merayakan kelulusanku. Siapa dia? Cuma
‘teman’, kenapa harus ikut? Mengganggu saja. Aku kan sedang ingin bahagia
bersama Abang.
Soal
tempat Abang memilih warung tenda yang bisa ditemui disepanjang jalan saat
malam menyapa. Bukannya Abang tak sanggup membayar makanan Fast Food yang ada
di Resto-resto yang mewah melainkan Abang lebih suka sesuatu yang sederhana. Seperti warung tenda yang sekarang kami
kunjungi untuk merayakan kelulusanku.
Aku
merajuk sepanjang jalan. Benar-benar perayaan yang amat menyebalkan. Lihat saja
Kak Icha keterlaluan, genit. Tolong, jangan dekat-dekat sama Abangku. Harusnya Kak
Icha kan tidak usah ikut, perusak suasana saja. Perempuan pengganggu!
“Dhe,
Abang tidak menyangka kalau adhe bakal sehebat ini. Abang bangga sama Adhe.
Adhe mau melanjutkan sekolah dimana?” Tanya Abang mencairkan situasi
menyebalkan ini
Aku
hanya menjawab pelan, Kak Icha yang menguasai percakapan ini. Dia menyarankan
ini dan itu untukku pada Abang. Ah, itu Cuma akal-akalannya Kak Icha saja agar Abang
simpati padanya. Dasar perempuan
pembual.
Lihat
saja dari cara pandang Kak Icha padaku. Dia sepertinya teramat membenciku.
Jangan-jangan dalam benak Kak Icha, aku hanya sebagai pengganggu kelangsungan pendekatannnya pada Abangku. Aku tidak
akan sudi punya ‘kakak’ seperti dia. Lihat!! Pandangannya seperti jijik
melihatku, apa Abang tak menyadarinya?
Aku
tetap merajuk sampai rumah. Tadi Abang juga mengantarkan Kak Icha pulang.
Menyebalkan! Aku tak suka Abang dekat
dengan Kak Icha. Abang tau akan hal ini, bahwa aku ngambek karena Abang lagi-lagi
mengajak Kak Icha dalam acara kami.
“Dhe,
maafin Abang ya” kata Abang padaku saat kami sedang duduk menonton Doraemon kesukaanku
“Maaf
buat apa, bang?” tanyaku sewot pura-pura
tidak tahu.
“Kok,
Adhe jawabnya kayak gitu?”
Aku
hanya diam. Abang tidak sensitive. Harusnya kan Abang peka sama hal yang
beginian. Apa perlu Aku menjelaskan pada Abang kalau Aku sebal sama Kak Icha?
Tidak bukan? Abang pasti tau semuanya, Abang kan selalu tahu.
“Besok
kita rayakan lagi ya Dhe, hanya kita berdua. Abang sama Adhe saja tidak ada
pihak ketiga atau pihak-pihak lainnya yang ikut bergabung”
“Adhe
besok ada acara?”
“Sejak
kapan Adhe punya acara, hanya sebentar saja Dhe. Makan ice cream ditempat
favorit kita berdua Dhe”
Aku
menjawab iya dengan malas
“Dhe..”
panggil Abang mengganggu acara nonton Manga kesukaanku. Aku menoleh meminta
pertanyaan
“Abang
boleh bertanya sesuatu sama, Adhe?”
“Soal
apa, Bang..”
“Tapi,
Adhe janji dulu sama Abang, Adhe gak akan marah sama Abang”
“Tergantung,
Bang”
Abang
tersenyum, dan menarik nafas merangkai kata-kata yang membuatku akhirnya tambah
menjadi sebal. Benar-benar pertanyaan yang tidak tepat pada waktunya.
“Dhe..
kenapa setiap Abang lihat Adhe natap Kak Icha tatapan Adhe gak enak banget.
Kaya sebel, sebenarnya ada apa sih? Pasti ada sesuatu” Tanya Abang serius
Kenapa
harus bertanya soal Kak Icha sih? Apa tidak ada pertanyaan lain misalnya bertanya
kapan Doraemon membuat alat untuk mengukur rasa sayangku pada Abang. Pertanyaan
itu kan akan jauh membuatku tertawa
bukan pertanyaan menyebalkan seperti ini.
“Tidak,
Bang. Biasa saja” jawabku pendek
“Gak
Dhe, Abang lihatnya tidak Cuma sekali. Memangnya ada apa sih? Abang gak mau ada
masalah yang lebih besar anatara Adhe dan Icha”
Aku
hanya mendengus sebal. Bukankah Kak Icha yang sebal kalau sedang menatapku.
Kenapa malah Abang bertanya sesuatu yang bertentangan dengan kenyataan. Kak Icha,
Bang yang menatapku dengan tatapan jijik melihatku.
Tidak seperti Abang, tatapan Abang selalu terlihat mendamaikan walaupun amat
tegas.
“Kenapa
sih, Abang menyangka, Adhe sebel sama Kak Icha?”
“Abang
gak nyangka Dhe, Abang menyimpulkan sendiri ya dari tatapannya Adhe ituke Icha.”
Suara Abang mulai meninggi
Percuma
kan Aku menjelaskan sama Abang. Toh abang lebih membela teman Abang itu dibandingkan aku Adhenya sendiri. Aku kan bukan
siapa-siapa dibandingkan Kak Icha, aku hanya seorang Adhe. Tidak akan menjadi special seperti Kak Icha.
Aku
mematikan televisi beranjak menuju kamar, Aku menangis. Dimata Abang aku pasti
salah. Dan aku salah, selalu salah dimata Abang dibandingkan Kak Icha, siapa
aku hingga Abang lebih memebelaku. Mungkin Abang lebih dulu dekat dengan Kak Icha dibandingkan saat
menemukanku. Aku hanya seorang ‘Adhe’ yang pencemburu
dan banyak maunya.
***
Embun
masih bergeliat manja didedaunan, menanti matahari mengusirnya dari pagi. Hari
ini hari pertamaku masuk sekolah. Sekarang umurku Lima Belas tahun, Abang Dua
Puluh Dua tahun. Abang semakin terlihat berwibawa dengan senyum menyenangkannya
yang entah kenapa tatapannya selalu bisa membuatku merasa damai.
Sekarang,
Abang tak perlu mengantarkanku kesekolah seperti hari-hari sebelumnya. Ada Fandi
yang setiap hari rela mengantar dan menjemputku kesekolah. Seperti sopir
pribadi saja, dia mau kok melalukan pekerjaan menghinakan itu. Jadi sopir dan
tukang ojek yang harus ada saat aku sms-padanya.
Ya,
sejak masuk sekolah menengah atas. Aku sama seperti gadis-gadis lainnya,
merasakan yang namanya apa itu ‘cinta monyet’. Fandi itu tergolong orang yang
romantis, dia sering menulis bebrapa bait puisi rutin setiap minggu untukku di
madding sekolah. Kata teman-temanku itu romantis.
Ah, sepertinya biasa-biasa saja. Semua orang bisa menjadi pujangga ketika
sedang dimabuk asmara seperti yang Fandi lakukan padaku sekarang. ‘Semua’ orang
bisa melakukannya.
***
Dihari
ulangtahunku yang jatuh diakhir bulan, aku mendapat kejutan yang kata teman-temanku
sedikit ewoow. Padahal menurutku
lebay dan berlebihan. Walaupun menurut kebanyakan orang itu so sweet. Aku hanya
tertawa mendengarnya, semua orang bisa melakukannya. Itu hal yang mudah bukan?
“Hanya”
menulis sebuah buku dan bukunya khusus dipersembahkan buatku. Ah, itu
berlebihan. Semua orang bisa melakukannya. Apa harus sebegitunya dia
mengungkapakan rasa so(k) sweet-nya padaku? Aku hanya menggigit bibir, sedikit
terharu karena ada seorang pria yang sampai sebegitunya menyayangiku.
‘Berlebihan’, sekali lagi berlebihan
bukan?
Dan
yang amat mengejutkan bagiku, Abang memberikan sebuah hadiah kecil yang
menurutku amat teramat sederhana tapi mampu menerbangkanku hingga langit
ketujuh, mungkin Aku saja yang terlalu berlebihan menafsirkan pemberiannya. Aku
tak ingin mengatakan apa itu, tepatnya biar kusimpan sendiri sesuatu tentangnya.
Aku
berjalan-jalan ke pasar malam, tempat kesukaaan Abang setelah gedung berlantai
dua. Sebenarnya Aku tak begitu suka, terlalu ramai. Karena Abang menyukainya Aku
juga akan belajar ikut menyukai jalan-jalan ke pasar malam, tidak berlalu
buruk.
Aku
membeli Arumanis, Abang menertawakanku seperti anak kecil. Apa anak kelas dua
SMA tidak boleh membeli Arumanis? Aku suka, enak. Apanya yang lucu? Abang
menyebalkan menertawakanku sebegitunya banget. Aku ngambek, Aku kan selalu
ngambek. Itu jurus terbaik yanga Aku punya. Aku tak punya saringan seperti
keluarga Uchiha ataupun mata tajam mendamaikan seperti milik Abang.
“Bang,
ayo naik Komidi Putar!” ajakku tak sabar
Abang
diam mematung, sepertinya dia belum terbiasa dengan gaya kekanak-kanakkanku.
Memangnya anak kecil saja yang boleh naik Komidi Putar? Benar-benar pemikiran
yang picik jika benar seperti itu. Tapi akhirnya Abang menurutiku yang banyak maunya. Biarkanlah, yang penting Aku
bahagia malam ini. Dihari ulang tahunku.
Setidaknya
Abang tidak mengajak Kak Icha yang kata Abang hanya teman kantornya saja. Aku tidak mau membahasnya, dia tidak penting.
Aku sebal saja kenapa dia selalu menatapku dengan tatapan yang jijik. Memangnya aku ini apa? Harusnya
kalau dia memang ‘suka’ dengan Abangku dia juga harus merebut perhatianku juga
kan agar aku memberi lampu hijau pada Miss Menyebalkan itu. Tapi Aku tak akan
pernah sudi.
Aku
pulang sambil menghitung bintang-bintang yang menyebar diatas sana berebut
tempat agar terlihat oleh jutaan makhluk di bumi, seperti keberadaan
bintang-bintang itu. Berjuta-juta, atau bahkan lebih. Aku tak pernah
menghitungnya samapai sebanyak itu.
“Dhe..”
“Kenapa
Bang?”
“Tahu
tidak? Kata orang, jika kita menghitung bintang samapai seratus dan pada
hitungan keseratus kita berharap memanjatkan do’a. do’a kita akan cepat
dikabulkan” kata Abang teramat serius, lihat saja mukanya. Amat serius,
berwibawa.
Aku
bengong? Aku tak menyangka Abang bisa menghayal cerita seperti itu dengan amat
serius.
“Coba
aja Dhe, kalau tidak percaya sama Abang” perintah Abang sedikit melotot
kemudian tertawa kecil
Bagaimana
mungkin Aku tidak percaya. Aku selalu mempercayai Abangku. Walaupun Abang berbohong
padaku sekalipun, Aku akan tetap percaya padanya. Aku sudah berjanji untuk
selalu menurut padanya. Apapun! Dia Abangku, Malaikat yang selalu dibanggakan Ibu.
Aku
sibuk menghitung bintang-bintang di angkasa. Aku selalu percaya perkataan
Abangku. Tanpa perlawanan, tanpa protes. Setelah hitungan keseratus Aku khusuk
memohon, berdo’a dengan khidmat. Hanya Aku dan yang ada diatas sana yang tahu.
Aku tersenyum dan menoleh Abangku, lebih tepatnya memandangnya.
Aku
tak perlu memberitahu seperti apa do’aku bukan? Semuanya sudah jelas, sejelas
bintang-bintang yang Aku hitung. Semua orang pasti tahu bagaimana isi do’aku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar