Dulu, sebuah kata yang
menggambarkan kejadian yang sudah kita lalui. Kata yang menyimpan begitu banyak
misteri, rahasia, kenangan, dan hal-hal yang kadang lebih banyak menyakitkan
daripada yang membahagiakan. Karena kebanyakan orang lebih tertarik
membicarakan hal yang negative daripada hal positif. Menyedihkan memang, tapi
faktanya seperti itu.
Masa lalu, kebanyakan orang yang
hidup dimasa sekarang menyesalkan sesuatu yang pernah terjadi dimasa lalu. Ya,
memang penyesalan selalu datang paling akhir. Meskipun sekarang kita melalukan
hal paling terbaikpun bukan berarti dimasa mendatang kita tidak akan menyesal
kan? Jadi, menyesal hanya sebauh pilihan yang selalu dijadikan sebuah alasan.
Kemarin, kejadian yang baru dialami
beberapa waktu yang lalu. Dan yang pasti tidak sedikit orang yang juga ingin
kembali memutar waktu meski hanya kejadian barusan. Seandainya waktu bisa bisa
kembali.
Waktu, meski kita berhenti waktu
akan berjalan melalui kita kemudian waktu berlalu seenaknya dan pada akhirnya
kita menyesal karena berhenti melakukan sesuatu yang lebih berharga.
Huh..
Fyuuh..
Lupakan dulu masalah waktu,
kemarin, masa lalu, dan dulu. Mereka akan selalu ada ditempatnya tanpa perlu
kita usik. Perkenalkan nama gue Ocha, begitulah teman-teman memanggil gue. Di akta
kelahiran gue, disitu tertera nama lengkap gue ‘Sri ocha kartika sari’. Aku
anak semester tiga jurusan pendidikan matematika. Sebenarnya matematika itu
mudah sebelum ada alphabet didalamnya. Maksud gue aljabar. Kalau berbicara soal
matematika pasti kebanyakan orang bakal sepakat menjawab itu sulit.
Jujur, gue juga merasa tersesat
mengambil jurusan ini. Tapi, takdir Tuhan yang membawa gue sampai disini
sekarang. Gue punya dua saudara namanya Intang kelas 2 SMA lengkapnya ‘Laura
bintang senja’ lahir pada saat senja, catet senja selalu melenakan mata. Kadang
gue suka iri sama kecantikan adhe gue yang satu ini. Kecantikannya bisa
meluluhlantahkan Konoha. Lebay.
Adik kedua gue namanya Aan ‘Muhamammad
Farhan indiana’ dia masih sangat lucu, menggemaskan dengan postur tubuh yang
tidak pada umumnya. Dia duduk dibangku kelas 5 SD. Mereka semua, maksud gue
keluarga gue tinggal di jogja. Gue? Merantau ke kota yang antah berantah demi
menempuh pendidikan gue yang ternyata gue merasa ‘kesasar’ pokoknya bukan gue
bangetlah.
Gue belum punya cowo, apa-apa masih
gue lakuin sendiri. Terakhir gue pacaran waktu SMP kelas 2. Entah udah berapa
puluh tahun yang lalu. Sebenarnya gue pengen ngebuka hati gue lagi, tapi sayang
gue lupa paswordnya. So, hati gue yang putih bersih ini, eh maksud gue merah
masih tertutup dan belum bisa dibuka.
Gue merasa asik aja sendiri. Gue
nggak perlu ribut, berantem, nggak perlu cemburu, dan nggak perlu galau.
Sebenernya gue sering galau sih karena kadang iri sama mereka-mereka yang malam
mingguan, jalan bareng, makan ada yang bayarin, belanja ada yang mengebiliin,
kemana-mana ada yang nagganterin. Eh, maksud gue fungsi pacar bukan buat itu
kan? Sorry.
Karena kelamaan sendiri akhirnya
gue jadi cewe yang super duper cueknya. Sendirian itu nggak selamanya
menyedihkan kok tapi nggak selamnaya menyenangkan juga. Hidup itu satu paket
kan? Antara bahagia dan sedih pasti kita akan terus mengulang-ulang dua
kejadian itu sampai kita mati. Jadi jalannin aja tanpa perlu banyak mengeluh.
Orang tua gue bukan orang yang kaya
raya, bukan. Jadi, untuk menyeimbangkan gaya hidup gue sekarang gue kerja part
time. Dari mulai privat, sampai kerja sosial, dan mengasuh anak orang. Gue
sedikit-sedikit bisa nari, sedikit sedikit bisa main musik, sedikit-sedikit
bisa nyanyi, sedikit-sedikit bisa nggambar, pokoknya gue bisa apapun meski itu
sedikit-sedikit.
Gue orang yang suka memulai sesuatu
dan kadang nggak menyelesaikan apa yang udah gue mulai. Mungkin karena gue
takut akan hasil akhirnya. Bahkan gue nggak yakin kalau gue udah putus sama
pacar gue waktu SMP. Gue hanya pergi meninggalkannya diam-diam. Berjalan mundur
menjauhinya, karena rasa kecewa gue. Gue terlihat amat menyedihkan, bukan?
Jadwal kuliah gue padat merayap,
ditambah lagi gue aktif dikegiatan ekstra dan intra di kampus. Gue orang yang
nggak bisa focus akan satu hal, pengennya semua hal gue coba dan seringnya
nggak membuahkan hasil karena gue nggak fokus. Gue orang yang gampang bosan,
makanya gue sering gonta-ganti kerjaan part time. Sebenernya gue hanya lebih
sering suka dengan hal-hal yang baru, hal yang lebih seru, hal-hal yang membuat
gue penasaran. Meski pada akhirnya gue akan meninggalkan hal yang membuat gue
penasaran itu.
Ditengah segudang kesibukan gue,
gue punya hobi jalan-jalan. Traveling. Menurut gue jika ingin menikmati surga
tanpa buru-buru meninggalkan dunia ya caranya Cuma satu. Keliling dunia. Just
it. Sesimpel itu kan? Di Indonesia aja kita udah berasa kaya di surga, apalagi
keliling dunia? Nggak usah dibayangin deh, ciptaan Tuhan emang selalu paling
keren. Nggak ada duanya, gue jadi suka penasaran sama Surga yang sesunggunya.
Nggak bisa membayangkan betapa menakjubkannya surga, bumi aja yang terlihat
seperti sebutir debu di alam semesta ini indahnya begitu, ah nggak bisa
digambarkan dengan kata-kata.
Gue bukan orang yang anti sosial,
gue suka bersosialisasi dan tentunya banyak kegiatan sosial yang gue jalanin.
Nggak bisa disebutkan satu persatu. Menurut gue dengan menolong dan mau berbagi
itu menunjukan bahwa sebenarnya kita peduli.
Gue nggak terlalu suka membahas soal
kuliah gue, sejak awal gue udah bilang kan? Gue seperti tersesat berada ditengah-tengah
orang yang setiap hari makanan faforitnya adalah rumus-rumus. Cemilanya tuan x
dan nyonya y melulu setiap hari. Gue meraya aneh menjadi bagian dari mereka.
Pertama, gue pengen cerita tentang
kerja part time gue. Mengasuh anak lebih tepatnya mengasuh anak yang punya
kelainan. Bukan, sebenarnya seorang anak yang punya keunikan yang nggak semua
orang memilikinya.
Namanya Izzi, kalian boleh
memanggilnya begitu. Yah, karena panggilannya memang begitu. Setiap hari sabtu
dan minggu gue kerja di asrama sekolah anak-anak disabilitas. Kebanyakan mereka
punya keunikan sendiri-sendiri. Diluar keterbatasan mereka, ternyata mereka
mengajarkan gue akan bnayak hal. Gue jadi lebih bersyukur atas apa yang ada di
diri gue.
Namanya rumah ‘Cinta’ sebuah
yayasan yang ada asramanya sekaligus. Ada sekolah mulai dari pra-TK sampai SMA
khusus anak berkebutuhan khusus. Kenapa gue memilih kerja disitu? Karena konon
ceritanya pada jaman dahulu kala waktu gue menduduki bangku SMP gue pengen
banget jadi seorang psikolog. Tapi entah kenapa, takdir Tuhan membawa gue
kuliah di Pendidikan Matematika.
Allah is fair, you know? Buktinya
sekarang ada jalan gue buat mendalami psikologi anak yang begitu unik di dinuia
ini. Yah meski bukan jadi seorang psikolog. Jalan yang diberikan sama Tuhan
emang the best banget.
Asramanya keren banget. Alat-alat
yang ada disitu juga canggih-canggih, banyak yang langsung didatangkan dari
luar negeri. Ya, karena emang di Indonesia belum ada. Intinya kerja disana gue
merasa seneng banget.
Yayasan itu milik pribadi tapi
banyak juga sumbangan dana dari luar negeri dan pemerintah. Gue kira uang rakyat
Cuma dipakai buat korupsi doang. Ternyata emang ada yang disalurkan untuk
mereka-mereka yang tepat. Meski lebih banyak yang dimakan oleh mereka-mereka
yang punya jabatan dan haus akan uang.
Dulu, gue sempet iri sama
teman-teman gue yang terlahir dari keluarga yang kaya. Sekarang, seiring
berjalannya waktu gue nggak pernah merasa iri. Karena belum tentu juga kekayaan
mereka didapat dengan cara yang benar. Liat banyak yang perutnya buncit karena
memakan makanan yang bukan miliknya. Kasian.
***
“Ocha..”
“Iya?” seseorang memanggilku dan
aku menoleh
“Nanti LPJan ya, mulai pukul 2”
kata Deni mengingatkan. Kubalas hanya dengan anggukan.
Hari ini tugas begitu menumpuk,
tugas dari bu Arni, pak Heru, LPJ BEM Fakultas. Bisa nggak gue ketemu sama
Naruto dulu? Pengen belajar jurus seribu bayangan sama dia. Kali aja gue juga
bisa punya seribu kembaran gue. Biar gue yang asli bisa tidur cantik dan gue
yang palsu bekerja sesuai tugas-tugas gue. Pas gue bangun, semua udah kelar.
Stop, hentikan khayalan gue.
Gue berlari menuju kost-an gue yang
jaraknya kurang lebih dua ratus meter dari fakultas. Pasti sahabat gue yang
paling unyu sudah tiba di kost lebih dulu. Secara dia tipe mahasiwa kupu-kupu
(kuliah-pulang, kuliah-pulang) gue kadang heran sama teman sekamar gue itu apa hidupnya
tidak pernah mengalami kebosanan menjalankan aktifitas yang begitu-begitu aja.
“Baru pulang, mau pergi lagi? Gue
udah beli makan. Tuh diatas meja” kata Anggi
Gue hanya mengangguk pelan. Mata
gue melirik sosok yang ada disebelah gue
“Ngapain loe cengar-cengir? Ada
setan yang berani merasuki tubuh loe?”
“Hemm, coba tebak?”
“Apaan Nggi? Gue lagi males
bercanda”
“Tebak aja!”
Muka gue langsung berubah sadis
penuh kecurigaan
“Nggi, nggak mungkin kan?”
“Nggak mungkin loe itu mungkin Cha.
Gue balikan lagi sama Andri”
“Ya ampun nggi, insyaf loe Nggi!
Woy, sadar!” gue melempar bantal tepat ke muka Anggi
“Ngucapin selamat kek, sahabat
jahat loe! Temen seneng bukannya ikut seneng”
“Selamat ya, sebentar lagi juga loe
bakalan galau lagi, nangis lagi. Kalau loe lagi mengalami masa itu jangan cari
gue, gue nggak mau bertanggung jawab” gue mengambil handuk dan pergi ke kamar
mandi
Gue heran sama sahabat gue yang
satu itu, hatinya luas banget. Meski tau rasanya disakitin berkali-kali dia
masih bisa bertahan. Sahabat gue itu namanya Anggi, dia punya pacar yang
namanya Andri.
Kalian harus tau, Andri itu bukan
manusia. Dia itu makhluk yang jahat, sering membuat hati sahabat gue gundah
gulana. Ya ampun cinta itu emang bener kaya micin, kalo kebanyakn bikin bego.
Buktinya itu, Anggi.
Dia jadi bego kalo lagi jatuh
cinta. Seperti sekarang ini, dia lupa kalo Andri sering bikin dia sakit. Gue
bingung, Anggi sadar apa enggak mencintai manusia yang satu itu. Meski Anggi
tau bagaimana rasanya jatuh berkali-kali, tau betul bagaimana rasanya sakit
berkali-kali dia masih bisa bertahan, merasakan bagaimana rasanya bahagia bisa
mencintai seseorang. Meski jatuh berpuluh-puluh kali, Anggi tau betul ia akan
kembali. Mungkin dia belajar dari filosofi Hutan.
Ah, sudahlahlah. Tapi Anggi masih
lebih baik dari gue. Gue? Gue lupa bagaimana cara mencintai seseorang, gue lupa
rasanya dicintai oleh seseorang. Gue lupa, dan gue nggak ingat siapakah cinta
itu? Bagaimana sosok cinta itu, apa cinta itu, sampai sekarang gue belum bisa
menjawabnya.
Anggi beruntung masih bisa bertahan
mencintai seseorang, gue sendiri aja nggak tau bagaimana caranya mempertahankan
seseorang. Kenapa sampai sekarang gue masih betah sendiri? Karena gue takut,
gue selalu takut untuk belajar lagi mencintai seseorang yang baru, memberikan
hati gue pada orang yang baru, gue takut gue akan kecewa lagi nantinya.
Dulu gue pernah benar-benar
mencintai seseorang hingga orang itu memperlihatkan sendiri kalau dia nggak
pantas dicintai secara benar. Dia mengecewain gue, sangat. Tidak, sebenernya
bukan dia yang membuat gue kecewa hanya saja angan-angan gue yang terlalu
tinggi tentangnya hingga membuat gue begitu kecewa dan terluka.
Terluka, semua orang pernah
mengalaminya kan? Time heals every wound, waktu bisa menyembuhkan semua luka.
Bagaimana bisa luka itu masih menganga hingga sekarang. Sekuat apapun gue
menyembunyikan luka itu, sekeras apapun gue mencoba melupakannya, ia senantiasa
hadir tanpa pernah gue minta. Terus menghantui setiap saat, membuat gue terus
terluka.
Gue tidak bisa melupakannya,
makhluk menyebalkan itu, makhluk jahat itu. Gue nggak bisa lupa. Senyum
tengilnya, tawa renyahnya, muka juteknya, gaya ngambeknya, gurauan manjanya,
hingga helaan nafasnya, gue benar-benar ingin melupakannya. Bagaimana bisa gadis
polos kelas 2 SMP bisa benar-benar jatuh cinta sebegitu dalamnya.
Gue kadang iri sama mereka yang
mudah sekali jatuh cinta, cinta saat SMP mungkin hanya menjadi bagian dari
cinta monyet mereka-mereka. Sekadangkan gue? Kenapa gue nggak bisa seperti
orang normal lainnya?
Hentikan membicarakan masa lalu
gue, gue mati-matian menyembunyikannya. Gue tau betapa sakitnya ketika gue
mengingat dan menceritakan luka-luka itu.
***
Gue menderita penyakit
Eccedentesiast. Kalian baru mendengarnya? Sejak luka itu membuat gue sakit, gue
mulai mengidap penyakit itu. Semakin gue merasa sakit, penyakit itu makin kuat
berkembang dalam tubuh gue.
Bahkan Anggi tau bagaimana rasanya
menghadapi ‘sakit’ itu sendirian. Gue dan Anggi hampir mempunyai Luka yang
sama. Masing-masing masing-masing dari kami punya cara sendiri untuk tetap bisa
bertahan hidup.
Seandainya gue bisa seperti Anggi,
memilih bertahan dan tetap mencintai meski tau nantinya akan terluka lagi.
Tetakutan terbesar dalam hidup gue adalah diri gue sendiri. Kadang gue merasa
takut untuk menemui diri gue sendiri. Dulu sakit yang selalu membuat gue takut,
tapi keadaan sekarang menjadi berbalik ketakutan yang dulu selalu membuat gue
sakit.
Anggi, kamu beruntung Bisa mengerti
cinta lebih dari gue. Gue selalu ingin belajar tentang cinta. Tapi, ketika
cinta itu mulai datang gue justru menghindarinya dan sangat keras menolak
kehadirannya.
“Woyyy…” anggi berteriak
mengagetkan sambil menepuk pundak gue
“Hmmm, kenapa?” gue meminta jawaban
“Jangan melamun, awas ati-ati loh!”
“Kenapa?” gue lebih tegas bertanya
“Katanya tanpa sadar melamun itu
bisa cepat mengakibatkan penuaan dini. Ihh ntar loe jadi tua sebelum waktunya.”
“Biarin”
“Nggak boleh Cha. Nggak tua aja loe
belum laku apalagi tua?”
“Sialan loe!”
“Temenin gue beli baju yuk!? Lusa
Andri mau kesini. Gue harus tampil cantik”
“Cinta itu bisa menerima apa
adanya”
“Kaya loe tau aja apa itu cinta,
meski cinta bisa menerima apa adanya. Cantik itu perlu buat mempertahankan
cinta. Gitu aja nggak ngerti, bego loe! Makanya loe nggak laku-laku penampilan
loe apa adanya banget gitu”
“Sialan, sejak kapan kemampuan
menghina loe meningkat gitu”
“Sejak gue berteman sama loe,
secara tidak langsung gue mengasah keahlian menghina gue. Habisnya loe begitu
sangat sangat menderita. Mana tahan mulut gue nggak menghina penderitaan loe”
“Kampret, gue mandi dulu yah”
“Biasanya juga nggak mandi, tumben”
“Kata loe barusan, cantik itu
perlu”
“Dasaaaar, sono jangan pake lama!”
perintah Anggi dan gue bergegas pergi ke kamar mandi
Anggi tau banget kalau gue makhluk
yang paling benci mandi. Buat gue, mandi itu seperti pilihan ganda. Kita hanya
boleh milih satu. Pagi, Siang, Sore, atau Semuanya salah. Gue kadang sering milih
yang terakhir, Semuanya SALAH.
***
Anggi dan gue memutuskan untuk
berbelanja baju-baju. Kalian tahu sendiri kan berapa banyak waktu yang
dihabiskan untuk berbelanja. Kami, para wanita akan rela dan senang hati
berjalan-jalan menyinggahi setiap toko hanya untuk membeli sebuah baju. Kalau biasanya
cowo-cowo membeli sesuatu yang limited edition wanita biasanya memilih
sebaliknya. Kita suka sama sesuatu karena sebelumnya kita pernah melihat
seseorang memakai sesuatu yang bagus lalu kita mencari sesuatu itu. Kita
tertarik karena orang lain terlihat menarik ketika memakainya. Aneh kan?
“Cha, kira-kira Andri bakal pergi
ninggalin gue lagi nggak ya?”
Gue hanya menatap penuh prihatin
sahabat gue yang satu ini
“Gue terlihat menyedihkan ya Cha?”
“He’em”
“Gue tau meski nantinya gue bakal
dicuekin lagi dan Andri bakal pergi lagi, loe tau kan gue bakal terus
menunggunya dan berharap akan ada happy ending”
“Gue nggak bisa ngomong apa-apa Nggi,
tapi loe lebih baik dari gue soal mempertahankan orang yang bener-bener loe
cintai.”
“Loe pasti kecewa banget ya Cha?
Seberapa kecewa Cha? Sampai-sampai loe melarikan diri kaya gini”
“Gue nggak tau Nggi. Gue kira
melarikan diri akan menyelesaikan semuanya. Ternyata melarikan diri itu lebih
menyakitkan. Udah ya jangan bahas itu”
“Iya Cha” jawab Anggi dan diam
sejenak sebelum melanjutkan
“Mau beli canai Cha?”
“Tawaran yang menggiurkan, ayo!!
Anakonda yang ada diperut gue harus gue rawat dari tadi sudah meronta-ronta”
Selesai berbelanja gue mampir
membeli makan, roti canai. Selain makan gue bener nggak tau apa-apa. Apalagi
soal melepaskan seseorang, gue buta akan sesuatu yang seperti itu. Gue hanya
meyakini seseorang yang ditakdirkan untuk pergi pasti ia akan pergi. Tak peduli
seberapa keras kita menahannya, kita harus melepaskannya karena pada akhirnya
mereka akan tetap pergi dari kita.
Mungkin karena rasa kecewa yang
begitu dalam hingga saat ini gue gak bisa melupakan Tomi. Gue tau kalo gue
jatuh cinta pada orang yang salah. Tapi bukan suatu kesalahan kan kalo gue
bersalah. Jatuh pada orang yang salah apa terlihat menyedihkan? Esok, jika
suasana hati gue sudah sedikit membaik dari sekarang. Ketika gue siap jatuh
lagi, gue pengen jatuh pada seseorang yang tepat dan gue akan jatuh
sejatuh-jatuhnya. Hingga saat itu tiba nantinya, gue berharap gue menyadari
kalo gue akan jatuh pada orang yang tepat dan benar.
***
masih berlanjut...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar