“Aku hamil mas?”
“Benarkah Dhe? Kamu lagi tidak bercanda kan?” kata Damas kaget,
tidak percaya dengan apa yang diucapkan Dhea barusan
“....” Dhea menggelengkan kepala sambil senyum-senyum tanda
bahagia.
Damas memeluk istrinya, bahagia. Setelah Tujuh tahun pernikahan,
akhirnya Tuhan mempercayakan mereka berdua untuk sebuah momongan. Damas memeluk
istrinya dan menciuminya dengan mesra.
“Sekarang apa Dhe? Mama sama bapak harus tahu. Mereka pasti senang
akan punya cucu”
“...” Dhea menggangguk mengiyakan, akhirnya dia menjadi wanita
sempurna.
“Dhe, makasi banget ya”
“Nenek juga harus tahu, dia pasti akan sangat senang. Waktu itu kan
nenek sakit karena kepengin cicit dari kamu Mas”
“Lakuin Dhe, makasih” Damas mengusap rambut Dhea dan mencium
keningnya
“Aku seneng kok Mas bisa mengandung anak kamu, nglahirin anak kamu,
ngrawat anak kamu, aku senang menanti itu semua terjadi. Makasi ya Mas udah
sabar menunggu selama ini”
Kebahagiaan mereka begitu nyata. Masih teringat jelas ketika waktu
itu Damas disuruh menceraikan Dhea karena Dhea tidak bisa memberikan keturunan
untuk Damas. Tapi alasan Damas menikahi Dhea bukan karena itu, tapi karena
Tuhan yang memilih Dhea untuk Damas. Dhealah perempuan terbaik untuk Damas, dan
Tuhan menunjukan itu semua. Meski terlambat, tapi Tuhan memberi disaat yang
tepat. Lebih baik terlambat daripada telat, bukankah seperti itu.
Tuhan mendengar do’a mereka selama ini, hanya dibutuhkan kesabaran
untuk menunggu semua itu terkabul. Karena mereka sudah sabar menunggu, tuhan
menjawab semua do’a mereka sekarang.
“Makasi Mas untuk semua cinta yang sudah diberikan selama ini.
Untuk kasih sayang yang sederhana yang Aku terima.”
“Iya Dhe, Aku minta maaf karena selalu bikin kamu sebel Dhe, bikin Kamu
cemburu sama temen-temen kantor Aku yang kecentilan. Makasi untuk tidak marah
ketika Aku marah Dhe. Makasi udah mau ngertiin Aku melebihi Aku. Makasi untuk
semuanya Dhe”
“Aku tau mas, meskipun Kamu tidak pernah secerewet Aku. Yang selalu
blak-blakan ngomongin sesuatu. Meskipun Kamu selalu memendam semuanya sendiri Mas.
Aku tahu, Kamu selalu menyayangiku Mas. Kamu hanya lupa mengatakan itu padaku.
Kalau Kamu menyayangiku lebih dari Aku”
“Sebenarnya Aku kadang yang terlalu genit, tebar pesona kecewe lain
padahal Aku sudah punya Kamu Dhe. Maaf ya untuk itu”
“Aku nggak apa-apa meskipun Kamu begitu Mas”
“Aku jadi takut Dhe”
“Takut kenapa Mas?” Dhea sedikit khawatir, ketakutan suaminya
menjadi ketakutannya juga
“Aku takut kenyataan ini terlalu nyata. Mulai hari ini Aku akan
berubah”
“Mas, kamu nggak perlu berubah. Aku mencintai Kamu apa adanya. Kamu
selalu menjadi suami Aku itu sudah lebih dari cukup Mas”
“Selama ini Aku udah ngecewain Kamu Dhe, udah nyakitin Kamu. Maaf
juga soal Mamah. Soal Ade tersayangku”
“Aku nggak apa-apa kok dengan mereka. Aku bisa menahannya. Aku
harusnya berterimakasih sama mereka karena mereka sudah mau menyayangimu Mas,
udah perhatian ke Kamu Mas, udah bikin Kamu bahagia. Selama ini kan Aku belum
bisa bikin Kamu bahagia”
“Aku bahagia kok Dhe. Ketika Aku diam bukan berarti Aku bahagia kan
Dhe?”
Dhea memetik buah kesabarannya sekarang. Sekarang dia punya pundak
suaminya untuk bersandar. Meskipun selama ini dia hanya punya sajadah untuk
bersujud, Tuhan berbaik hati memberinya sebuah pundak seseorang yang begitu
disayanginya. Dalam hidup Dhea tidak penting lagi siapa orang-orang yang akan menyayanginya,
tidak peduli lagi apakah dalam hidupnya hanya satu orang yang akan menyayanginya.
Dan sekarang dia tahu, yang terpenting dalam hidupnya dia hanya mencintai satu
orang. Suaminya, Damas.
“Maaf dhe, sejak kejadian itu. Aku berniat meninggalkanmu. Aku
minta maaf, Aku selalu membuat hatimu sakit. Aku bingung, Aku mengacuhkanmu dan
pura-pura menganggap Kamu sudah tidak penting lagi Dhe ada didalam hidupku.
Kamu pasti sakit akan hal itu Dhe”
“Aku tahu Mas, Aku mengerti. Aku pasti sakit banget. Sejak hari
itu, Aku juga sudah memasrahkan semuanya. Mungkin itu sudah menjadi takdirku,
jalan hidupku harus seperti ini. Aku berusaha mengikhlaskan semuanya.”
“Maaf ya Dhe, Aku selalu jahat kepadamu selama ini”
“Meskipun Kamu begitu, Aku tidak apa-apa mas. Aku ikhlas dengan
semua ini. Jangan pergi lagi dariku Mas, demi anak yang ada dikandunganku
sekarang”
“Apapun yang terjadi, aku tidak akan meninggalkanmu lagi. Aku tidak
akan pernah menemukan perempuan sepertimu lagi jika aku meninggalkanmu.”
Dhea memeluk erat Damas. Ia menangis dipundak Damas mengeluarkan
semua air mata yang ditahannya selama ini. Air mata yang ia simpan sendiri
ketika ia merasa tak sanggup lagi dengan sikap suaminya, Damas. Dhea hanya tidak
tahu bagaimana caranya mencintai pria lain selain Damas. Hanya damas yang bisa
membuatnya menjadi seorang wanita yang penurut, siap mengalah kapanpun untuk
orang yang disayanginya. Dhea menyayangi Damas, hanya itu yang dhea punya untuk
damas. Tidak lebih.
Damas sebenarnay pria yang baik, hanya saja hidupnya selalu ditekan
oleh orang-orang disekitarnya. Ayahnya yang terlalu menuntut dia untuk ini dan
itu. Dia hanya mencari pelampiasan untuk hal-hal yang sekiranya bisa membuatnya
bahagia. Meskipun dengan cara yang salah.
Damas menikah sejak Tujuh tahun yang lalu dengan seorang gadis
bernama Dhea. Teman masa kecilnya. Ada banyak cara Tuhan mempertemukan sebuah
cinta, Tuhan memilih Dhea untuk Damas. Dhea gadis periang, cerewet, apa-apa
selalu diungkapkan dengan ekspresif, sedikit tomboy. Tapi, dibalik itu semua Dhea
gadis yang sabar, mau mengalah dan berkorban untuk orang yang disayanginya,
begitu perhatian, penyayang, melindungi.
Sejak Tujuh tahun menikah, Damas tidak menyadari betapa
beruntungnya dia menemukan Dhea. Dhea selalu saja punya cara untuk menyikapi
kelakuan Damas. Entah teman-teman perempuannya yang terlalu gampangan entah Damas
yang terlalu tebar pesona kemereka semua. Meskipun Damas begitu, Dhea tidak
apa-apa. Tidak pernah marah dan cemburu yang berlebihan. Cemburu itu merusak
segalanya, bukankah seperti itu. Bukan karena Dhea tidak menyayangi Damas,
membiarkan suaminya dekat dengan perempuan lain. Dhea tidak melarang-larang
lagi akan hal itu, meskipun ia sempat bilang cemburu cemburu jika ada wanita
yang dekat dengannya. Hey, bukankah Dhea istri sah Damas. Dhea berhak untuk hal
itu bukan? Dhea hanya ingin melihat damas bahagia. Jika dengan cara seperti itu
Damas bahagia, Dhea tidak apa-apa. Mungkin Tuhan belum membukakan pintu untuk Damas.
Dhea tetap sabar hidup dengan cara seperti itu. Dimana lagi akan Damas temui
perempuan seperti itu.
Damas pria yang egois, suka menang sendiri, tidak mempedulikan
orang lain yang dia tahu yang penting hidupnya bahagia tidak peduli meskipun
akan ada banyak hati yang dia sakiti. Damas gampang sekali marah, orangnya
sensitif. Dhea harus selalu memesan kesabaran yang ekstra kepada Tuhannya. Oh
tuhan, dimana lagi akan Damas temui perempuan sesabar Dhea.
Tapi semua itu telah berlalu. Di tahun ketujuh mereka menikah, Tuhan
menjawab semuanya. Dhea hamil, sesuatu yang sangat Damas nanti-nantikan selama
ini. Tuhan mendengar jeritan hati Dhea setiap sepertiga malam. Bukankah Tuhan begitu
adil kepada hambanya yang tak tak pernah bosan meminta. Bukankah Tuhan maha
pemberi segala sesuatu. Itu yang Dhea punya untuk damas, selalu berdo’a.
Sekarang Damas mengerti, kebahagiaan Dhea itu terletak pada
kebahagiaannya. Bagaimana ada perempuan yang rela hidup seperti itu. Mementingkan
kebahagiaan orang lain diatas kebahagiaannya sendiri, bagaimana mungkin Dhea bisa melakukan itu semua dengan gembira. Dia berkorban
apapun demi orang yang disayanginya. Bahkan mungkin, jika Dhea harus
mengorbankan hidupnya untuk Damas, dia nggak apa-apa. Dia pasti mau dan senang
melakukan apapun untuk kebahagiaan Damas. Damas beruntung mendapatkan istri
seperti itu, seorang Bidadari yang mau memberikan segala-galanya untuk Damas.
bersambung..