Tanpa kekosongan, siapapun tidak akan bisa memulai sesuatu. Hari
ini aku yakin, manusia dirancang untuk terluka. Semua bermula dari aku mengenal
perasaan itu. Aku, pria bersepatu hitam itu dan Mba Fanella.
Udara dingin memaksa masuk menembus pori-pori hingga ke tulang.
Senja baru saja tenggelam di pelataran langit. Tikar digelar di atas awan
diterangi cahaya bulan yang masih terlihat separo, bintang-bintangpun enggan
menampakkan kerlipnya.
Dari dulu, aku tak pernah bersahabat dengan hawa dingin. Pria
bersepatu hitam itu juga dingin, bahkan selalu dingin. Namanya Mas Ray, Reihan.
Mas Ray baik padaku, dia memanggilku kelinci. Katanya, karena aku
selalu berkhayal dan berharap suatu saat bisa memakaan telur kelinci. Makanya Mas
Ray memanggilku Kelinci.
Aku bukan seorang yang halus. Mungkin karena Bapak Ibuku bukan
makhluk halus. Tapi Mas Ray tidak mengeluh. Dia selalu baik padaku, bahkan
setelah kami memutuskan untuk menikah.
Sampai sekarang aku masih heran, bagaimana mungkin dia baik pada
wanita yang telah masuk kedalam rumah tangganya. Ini rumit, terlalu rumit untuk
selalu aku pikirkan.
Sebenarnya sebelum Mas Ray menikahiku. Dia terlebih dahulu menikah
dengan Mba Fanella. Malaikatku, perempuan yang selalu dibanggakan Mas Ray.
Kejadiannya bermula sepuluh tahun yang lalu.
Saat aku masih duduk dibangku kuliah. Aku seorang kristiani yang
taat. Aku dibaptis oleh Pamanku sejak umurku dua tahun. Aku tinggal di Bali
dengan mayoritas penduduknya beragama Hindu.
Kata sebuah buku, Indonesia begitu berwarna. Mulai dari agama
keragaman budaya, hingga keunikan masakan khas daerah. Sayang, hatiku tak
pernah berwarna, selalu abu-abu.
Mungkin karena aku memilih cinta yang salah. Bukankah cinta tidak
memilih dan dipilih? Tapi bukankah hati manusia kadang dipaksa untuk tumbuh
ditempat dan orang yang salah? Mungkin Mas Ray tidak salah. Akulah yang salah,
aku memaksanya menikahiku.
Aku tergoda oleh kepintaran Mas Ray. Aku bertemu dengannya disebuah
seminar. Seminar yang membahas imajinasi manusia. Seperti imajinasiku akan
telur kelinci. Waktu itu Mas Ray geleng-geleng kepala melihat kekonyolanku.
Lalu aku berkenalan dengannya. Dia seorang muslim. Dia bukan orang
yang fanatik. Dia menerimaku, maksudku sebagai seorang teman karena dia sudah
beristri. Mba Fanella, malaikatku perempuan yang selalu dibanggakan Mas Ray.
Kami berdua sering berdiskusi dalam hal apapun. berdiskusi tentang
imajinasi manusia, soal agama, mengenai ilmu-ilmu dan bahkan masalah perasaan.
Perasaanku terhadap Mas Ray. Iya aku mengutarakannya kalau aku mencintainya.
Sangat, teramat sangat.
Sejak hari itu Mas Ray berubah jadi dingin hingga sekarang. Tapi Mas
Ray tetap baik padaku. Entah perasaan seperti apa yang patut diucapkan, mungkin
hancur. Aku mengetahui kalau Mas Ray sudah mempunyai sandaran hidup. Itu
terucap dari mulut Mas Ray sendiri, bagaimana mungkin?
Aku terlanjur terbiasa dengan Mas Ray. Bukankah cinta itu
kebiasaan? sebelumya, dia lelaki yang perhatian. Apa aku salah mengartikannya?
Bagaimana mungkin aku bisa salah? Aku mahasisiwi psikologi. Mahasiswi semester
pertama saja sudah paham tentang aksi-reaksi seperti itu, apalagi aku. Mana
mungkin aku bisa salah.
Aku mencoba menghindar. Lebih tepatnya aku ingin lari menjauh.
Perasaan ini sudah tak pantas untuk direalisasikan. Mas Ray telah dimiliki oleh
seseorang, Mba Fanella, malaikatku. Perempuan yang selalu dibanggakan Mas Ray.
Sejauh apapun berlari, selama apapun aku bersembunyi. Namanya
perasaaan tak akan mampu kubohongi. Apalagi aku mencoba menangkis dan memangkas
tunas-tunas yang tumbuh subur dihatiku. Bagaimana mungkin lelaki yang satu itu
susah untuk dilupakan?.
Hari ini aku diajak temanku, Wahyu. Dia orang yang baik. Dia tahu
kisahku dan Mas Ray. Wahyu membantuku mencari kesibukan agar tak ada waktuku
untuk memikirkan Mas Ray. Mulai hari ini aku mengajar anak-anak jalanan.
Dari anak-anak itu aku belajar mengenai kejujuran dan sikap apa
adanya. Ada empat orang yang ikut mengajar, Mas Jarot, Wahyu, Aku dan Mba Senja.
Mba Senja baik dan cantik, secantik senja disore hari.
Mba Senja sudah menikah. Dia sering bercerita tentang suaminya.
Suami yang pengertian dan mau mengalah seperti impian semua wanita di seluruh
dunia. Aku iri pada Mba Senja. Dia seperti saudaraku sendiri, teramat baik. Aku
berjanji tak akan melukai perasaannya.
Mba Senja seorang muslimah yang santun. Dia tampil apa adanya,
seperti anak-anak yang ia didik. Mba Senja pintar sekali membuat kue tapi, kue
buatannya tidak pernah lebih enak dari kue buatanku. Mba Senja sering memintaku
mengajarinya membuat kue seperti kue buatanku. Katanya, suaminya suka kue.
Hari ini mendung, langit menangis. Bagaimana mungkin awan-awan
diatas sana bersedih, aku sedang berbahadia bersama Anak-anak dan Mba Senja.
Kami semua diajak jalan-jalan ke Ancol oleh Mas Jarot. Mas Jarot baru saja
mendapat rezeki banyak, katanya tadi sebelum kami berangkat.
Dadaku sesak, nafasku tiba-tiba naik turun. Mba Senja terlihat
buram dan goyang-goyang. Bukan Cuma Mba Senja, Anak-anak, Wahyu, dan Mas Jarot.
Semuanya bergoyang, nampak samar di mataku. Aku ambruk seketika.
Ku kucek mataku tiga kali, ku edarkan pandanganku kesekitar. Mba Senja
tersenyum, katanya aku akan baik-baik saja. Aku menangis, bagaimana mungkin aku
akan baik-baik saja? Mba Senja tidak tahu.
Entah untuk hari yang keberapa aku lupa akan penyakitku. Aku tak
pernah berbuat baik, hatiku saja tidak baik. Hatiku sakit, kanker hati.
Bagaimana mungkin aku bisa berbuat baik?.
Aku rajin mengunjungi gereja. Aku berkonsultasi dan membuat
pengakuan pada Pastur. Aku melakukan penebusan dosa. Aku merasa hidupku tak
akan lama. Aku pasrah jika aku harus pergi sekarang. Apa gunanya aku hidup jika
aku tak bisa bersama dengan orang yang aku sayang, Mas Ray.
Sore ini hujan deras mengguyur kawasan rumah Mba Senja. Aku
diajaknya berkunjung dan dia memintaku untuk mengajarinya membuat kue, seperti
permintaannya hari-hari lalu.
Rumah Mba Senja besar. Suaaminya yang membuatkan istana ini
untuknya. Mba Senja memang beruntung, sungguh aku iri padanya. Aku diajak
berkeliling melihat-lihat keadaan rumah.
Mataku tertarik melihat sebingkai foto. Tepatnya foto pernikahan
Mba Senja dengan suaminya. Aku kaget, bahkan tersenyum getir. Bagaimana bisa
lelaki itu ada bersama Mba Senja. Perempuan yang selalu tulus berbuat baik
padaku.
Foto itu alami, mata lelaki itu tulus mencintai gadis yang ada
disebelahnya. Lelaki tinggi berkacamata itu aku kenal. Iya, aku sangat tahu
siapa lelaki itu. Bukankah dia adalah lelaki yang selama ini ingin aku lupakan,
Mas Ray. Bagaimana mungkin? Aku semakin tidak paham.
Aku mencoba bertanya pada Mba Senja. Lelaki itu suaminya, Namanya Mas
Ray. Mba Senja menjelaskan dengan semangat bahagia. Batinku menolak.
Nama malaikatku Fanella Senja. Mba Fanella adalah perempuan yang
sama, perempuan yang selalu berbuat baik padaku, Mba Senja. Aku menggelengkan
kepala tidak percaya. Ini tidak bisa masuk jangkauan akal nalarku.
Mas Ray pulang, aku canggung dan ragu ketika menjabat tangannya.
Mas Ray tersenyum, senyumnya selalu bisa meluluhkan hatiku. Aku masih tidak
bisa melupakannya.
Nafasku berhenti dikerongkongan. Aku pamit pulang dan berjalan
sempoyongan. Mba Fanella mencemaskanku. Seperti biasa, dia selalu baik padaku.
Bukan cuma hatiku yang sakit, perasaanku semakin hancur. Aku mencintai suami
malaikatku sendiri. Mba Fanella, perempuan yang selalu dibanggakan Mas Ray.
Aku dilarikan kerumah sakit. Besok malam Natal, Pamanku sedang
pulang ke Bali menemui keluarganya. Aku sendirian, bukankah aku selalu sendiri?
Mba Fanella menemaniku, dia memang selalu baik padaku.
Aku memintanya membeli Pohon natal dan menghiasnya. Tak apa aku
merayakan Natal sendirian di Rumah Sakit. Aku sudah terbiasa sendiri bukan? Puji
syukur Tuhan masih membiarkanku menikmati malam Keberkahan, malam Natal. Terima
kasih Tuhan.
Keesokan paginya Mba Fanella menjengukku bersama Mas Ray. Aku tak
ingin bertemu Mas Ray. Aku tak ingin terluka. Bagaimana bisa aku melihat lelaki
yang kucintai berduaan bersama istrinya. Mba Fanella, malaikatku. Perempuan
yang selalu dibanggakan Mas Ray.
Mas Ray pulang, Mba Fanella menemaniku. Aku bingung dengan
perasaanku sendiri. Jika aku mengikuti kata hati, aku akan melukai perasaan
malaikatku, Mba Fanella.
Jika karena hal ini aku tidak jujur. Aku rasa ini tak adil.
Bagaimana aku akan bisa membohongi perasaanku sendiri. Aku harus mengatakannya,
setidaknya membagi beban perasaanku dengannya.
Aku menangis, Mba fanella menangis, namun awan di atas sana enggan
ikut menangis. Haruskah hanya kami berdua yang bersedih?
Mba Fanella memang selalu baik padaku. Dia menerimaku. Dia ikhlas
jika harus berbagi perasaan denganku. Bagaaimana mungkin? Hati cuma ada satu, dan itu tak akan bisa
terbagi. Bagaimana Mba Fanella bisa? Dia memang malaikatku.
Seminggu kemudian aku menjadi seorang muslim, aku masuk Islam.
Bukankah Indonesia begitu toleran dengan kebebasan beragama. Begitupun aku
sekarang. Memperoleh kebebasan itu. Aku menangis terharu. Di dunia ini ternyata
ada malaikat sebaik Mba Fanella.
Aku sembuh, tepatnya membaik. Aku boleh pulang, begitu kata dokter
yang merawatku. Sore ini aku akan diajari mengaji sama Mba Fanella. Iqro satu,
kata iqro begitu asing di telingaku. Sejak dulu aku terbiasa dengan Bibel.
Angka satu yang diatasnya ada tanda strip namanya A. Sedangkan
perahu yang di bawahnya ada satu titik namanya Ba. Itu pelajaran pertama hari
ini, kata Mba Fanella aku akan cepat bisa. Dia juga memberiku buku tuntunan
sholat.
Sholat ternyata sama dengan berdoa pada hari sabtu dan minggu.
Bedanya sholat dilakukan dalam sehari selama lima kali. Aku jadi senang
mempelajari Islam, agamaku sekarang.
Lima Ratus Dua Puluh Lima Ribu Enam Ratus menit sudah kulalui
sebagai seorang wanita muslim. Aku sudah sedikit banyak tahu. Aku sudah bisa
sholat lima waktu dan belajar membaca Al-qur’an. Sungguh kemajuan yang cepat,
ucap Mba Fanella bangga padaku.
Hari ini aku melangsungkan pernikahan dengan Mas Ray di rumah
sakit. Aku yang memaksa. Aku takut disaat aku akan pergi, aku belum bersuami.
Mba Fanella ikhlas, katanya begitu.
Aku takut aku tak bisa setia dengan Mas Ray seperti Mba Fanella.
Tuhanku saja berani ku khianati apalagi Mas Ray nanti sebagai manusia biasa.
Mungkin benar, hati seseorang manusia itu memang cuma ada satu.
Selamanya tak akan terbelah. Mas Ray memang suamiku sekarang, tapi hatinya
hanya untuk Mba Fanella seorang.
Setiap manusia selalu punya firasat. Mba Fanella tiba-tiba berubah
aneh. Dia berbicara seakan-akan mau pergi jauh dan tak akan kembali. Sebelum
Mba Fanella pamit pulang di berpesan padaku. Jangan pernah tinggalkan Mas Ray
sendirian. Setelah itu aku tak sadarkan diri, aku kritis ketika Mba Fanella
sudah dalam perjalanan pulang.
Mas Ray khawatir kala menerima telepon dari rumah sakit. Aku selalu
membuat orang panik. Mba Fanella juga gugup ketika menyetir. Mobilnya oleng dan
menabrak tembok jembatan. Mba Fanella kritis, lebih parah dibandingkan aku.
Mba Fanella terlalu baik, selalu baik padaku. Aku tak akan pernah
bisa membalas kebaikannya. Bagaimana mungkin aku akan membayar semua kebaikan
seorang malaikat? Perempuan yang selalu dibanggakan Mas Ray.
Aku teringat dulu waktu pertama kali aku bertemu dengan Mba
Fanella. Dia orang yang baik, seorang sukarelawan yang mau mengajar anak-anak
jalanan tanpa mendapat honor. Dia memang malaikat dan akan selamanya jadi
perempuan yang selalu dibanggakan Mas ray.
Ketika Mba Fanella merengek padaku untuk diajari membuat kue untuk
suaminya, bahkan sampai sekarang kue buatannya tak pernah lebih enak dari kue
buatanku. Sekarang aku yang akan selalu membuatkan kue untuk suaminya, suamiku
juga. Mas Ray.
Saat aku memelas pada Mba Fanella untuk berbagi suami denganku, dia
terlihat ikhlas. Walau kutahu batinnya menolak. Hatinya terluka, bagaimana
mungkin aku setega ini menyakiti perasaan malaikatku sendiri. Perempuan yang
selalu dibanggakan Mas Ray.
Jelas masih teringat dimemory otakku, saat Mba Fanella cemburu
ketika aku mengabarkan bahwa aku hamil. Mba Fanella teramat cemburu, tapi dia
berhasil bersikap wajar dan turut bahagia. Karena Mba Fanella sangat tahu kalau
dirinya tidak bisa memberikan seorang anak pada suami kami berdua, Mas Ray.
Tak bisa kulupakan kala jagoan kami bertiga lahir. Mba Fanella
menangis bahagia walau kutahu sebenarnya dia juga ingin memberikan buah hati
pada suaminya tercinta, suamiku juga. Mas Ray. Mba Fanella selalu bisa bahagia
saat kami bersama-sama. Dia memang malaikatku, perempuan yang selalu
dibanggakan Mas ray.
Saat aku tersadar. Aku tahu Mba Fanella telah tiada. Dia
mendonorkan hatinya untukku. Nyawanya tak bisa ditolong, darah yang keluar tak
bisa dibendung. Dialah malaikatku, perempuan yang selalu di banggakan mas Ray.
Aku memegang dadaku, mba Fanella hidup disana. Janjiku, aku tak
akan pernah membiarkan lelaki itu sendirian, suamiku dan Mba Fanella. Daun-daun
kering beterbangan mengundang hujan, langit kembali berduka ketika aku
mengingat Mba Fanella, malaikatku. Fanella Senja. Perempuan yang selalu
dibanggakan Mas Ray.